Murahnya sewa lahan dan pelanggaran kontrak berpotensi merugikan negara
Murahnya sewa lahan dan pelanggaran kontrak berpotensi merugikan negara
Tujuan : Tujuan dari analisis kasus pelanggaran kontrak bisnis ini adalah untuk mengetahui kerugian yang terjadi akibat tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara B dan apartemen kemiskinan .
Teknik: Menggunakan teknik analisis langsung melalui website artikel liputan6.
Sumber data : Data diambil dari web resmi liputan6.
Metode ulasan : Metode yang saya pakai dalam menganalisis ini , yaitu dengan penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu pembahasan yang ada berupa informasi atau tercetak dalam media massa.
Hasil : Komisaris PT Y, Michael Umbas mengaku ada ada beberapa fakta janggal yang didapatinya semenjak duduk sebagai komisaris PT Y pada November 2016, yaitu tambahan bangunan yakni gedung perkantoran menara B dan apartemen kempinski yang di mana kedua bangunan ini tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT Y.
Kesimpulan : komisaris PT Y, mengaku ada beberapa fakta janggal yang didapati semenjak duduk sebagai PT Y pada November 2010. diantara kejanggalan yang dialami terdapat dua bangunan baru yang tidak ada dalam kontrak awal. menyebabkan PT Y tidak mendapatkan kompensasi sedikit pun dari dua bangunan tersebut.
Analisis : Dalam kontrak BOT yang diteken PT Y dengan PT X Bersama Indonesia (CKBI)/PT Z, disepakati 4 objek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT Z yakni:
1. Hotel Bintang 5 (42.815 m2)
2. Pusat perbelanjaan I (80.000 m2)
3. Pusat perbelanjaan II (90.000 m2)
4. Fasilitas parkir (175.000 m2)
Namun dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tertanggal 11 Maret 2010 ternyata ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara B dan apartemen Kempinski, di mana kedua bangunan ini tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT Y. Kondisi ini menyebabkan PT Y kehilangan memperoleh kompensasi yang lebih besar dari penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut.
Selain itu, PT Z juga tidak kooperatif dan transparan dalam menyampaikan laporan pemeliharaan, tidak memberi rincian nilai biaya pemeliharaan.
Seharusnya alokasi biaya pemeliharaan sebesar 4 persen dari nilai pendapatan pengelolaan obyek BOT, namun PT Z tidak pernah transparan terkait nilai keuntungannya dan ini berpotensi kerugian bagi PT Y yang akan menerima objek BOT di kemudian hari.
Tak hanya itu, ada sejumlah hal lain yang juga jadi temuan dan sedang dalami seperti besaran nilai kompensasi, pengalihan sepihak penerima BOT dari PT A ke PT Z, terjadi pengagunan HGB ke Bank. "Kami tidak punya data berapa jumlah tenant di Grand Indonesia, keuntungan secara pasti besarannya berapa. PT Y hanya dapat kompensasi Rp 10 miliar per tahun, lalu pada lima tahun kedua naik Rp 1 miliar jadi Rp 11 miliar sehingga tiap bulannya tidak sampai Rp 1 miliar," jelas dia. Satu yang cukup serius yaitu terkait opsi perpanjangan BOT 20 tahun pada tahun 2011 dengan kompensasi tidak maksimal dan dilakukan jauh sebelum masa kontrak 30 tahun berakhir. Sebelumnya, temuan terbaru BPK menyebutkan ada potensi kerugian negara Rp 1,29 triliun akibat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai perjanjian.
"Temuan BPK itu dengan asumsi perpanjangan 20 tahun itu nilainya Rp 400 miliar dibayarkan ke direksi yang lama. Kompensasi Rp 400 miliar itu terlalu murah, perpanjangan itu 25 persen kali dari nilai jual obyek pajak (NJOP), harusnya NJOP 2010 total bangunan Rp 6 triliun itu sekitar Rp 1,5 triliun dengan asumsi 2014. Tapi NJOP-kan naik terus, jadi ini akan lebih rugi lagi," ungkapnya.
Merujuk pada fakta-fakta, tindakan-tindakan yang dilakukan PT Z telah memberi dampak kerugian yang besar bagi PT Y selaku korporasi. "Sebagai komisaris yang baru ditugaskan di PT Y (November 2010) kami menilai harus ada langkah-langkah penyelamatan aset negara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kami, direksi dan komisaris baru masih mempelajari dokumen tersebut. Kenapa selama ini tidak ada yang pertanyaan? Kalau didiamkan, nanti saya sebagai komisaris bisa masuk pasal pembiaran. Itu tidak boleh terjadi," tegasnya. Michael juga mengaku telah melaporkan masalah ini ke Menteri BUMN Rini Soemarno. Menurutnya, perseroan tengah menyiapkan langkah hukum untuk menuntut hak-hak tersebut.
"Masalah ini sudah dilaporkan ke Bu Menteri. Ibu Menteri sangat mendukung karena sesuai ketentuan kita harus menuntut hak itu," jelas Michael. Sementara itu, saat dikonfirmasi Anggota VII BPK, Achsanul Qosasi membenarkan adanya temuan potensi kerugian tersebut. Namun dia enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Referensi:
https://www.liputan6.com
Abstrak
Tujuan : Tujuan dari analisis kasus pelanggaran kontrak bisnis ini adalah untuk mengetahui kerugian yang terjadi akibat tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara B dan apartemen kemiskinan .
Teknik: Menggunakan teknik analisis langsung melalui website artikel liputan6.
Sumber data : Data diambil dari web resmi liputan6.
Metode ulasan : Metode yang saya pakai dalam menganalisis ini , yaitu dengan penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu pembahasan yang ada berupa informasi atau tercetak dalam media massa.
Hasil : Komisaris PT Y, Michael Umbas mengaku ada ada beberapa fakta janggal yang didapatinya semenjak duduk sebagai komisaris PT Y pada November 2016, yaitu tambahan bangunan yakni gedung perkantoran menara B dan apartemen kempinski yang di mana kedua bangunan ini tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT Y.
Kesimpulan : komisaris PT Y, mengaku ada beberapa fakta janggal yang didapati semenjak duduk sebagai PT Y pada November 2010. diantara kejanggalan yang dialami terdapat dua bangunan baru yang tidak ada dalam kontrak awal. menyebabkan PT Y tidak mendapatkan kompensasi sedikit pun dari dua bangunan tersebut.
Analisis : Dalam kontrak BOT yang diteken PT Y dengan PT X Bersama Indonesia (CKBI)/PT Z, disepakati 4 objek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT Z yakni:
1. Hotel Bintang 5 (42.815 m2)
2. Pusat perbelanjaan I (80.000 m2)
3. Pusat perbelanjaan II (90.000 m2)
4. Fasilitas parkir (175.000 m2)
Namun dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tertanggal 11 Maret 2010 ternyata ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara B dan apartemen Kempinski, di mana kedua bangunan ini tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT Y. Kondisi ini menyebabkan PT Y kehilangan memperoleh kompensasi yang lebih besar dari penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut.
Selain itu, PT Z juga tidak kooperatif dan transparan dalam menyampaikan laporan pemeliharaan, tidak memberi rincian nilai biaya pemeliharaan.
Seharusnya alokasi biaya pemeliharaan sebesar 4 persen dari nilai pendapatan pengelolaan obyek BOT, namun PT Z tidak pernah transparan terkait nilai keuntungannya dan ini berpotensi kerugian bagi PT Y yang akan menerima objek BOT di kemudian hari.
Tak hanya itu, ada sejumlah hal lain yang juga jadi temuan dan sedang dalami seperti besaran nilai kompensasi, pengalihan sepihak penerima BOT dari PT A ke PT Z, terjadi pengagunan HGB ke Bank. "Kami tidak punya data berapa jumlah tenant di Grand Indonesia, keuntungan secara pasti besarannya berapa. PT Y hanya dapat kompensasi Rp 10 miliar per tahun, lalu pada lima tahun kedua naik Rp 1 miliar jadi Rp 11 miliar sehingga tiap bulannya tidak sampai Rp 1 miliar," jelas dia. Satu yang cukup serius yaitu terkait opsi perpanjangan BOT 20 tahun pada tahun 2011 dengan kompensasi tidak maksimal dan dilakukan jauh sebelum masa kontrak 30 tahun berakhir. Sebelumnya, temuan terbaru BPK menyebutkan ada potensi kerugian negara Rp 1,29 triliun akibat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai perjanjian.
"Temuan BPK itu dengan asumsi perpanjangan 20 tahun itu nilainya Rp 400 miliar dibayarkan ke direksi yang lama. Kompensasi Rp 400 miliar itu terlalu murah, perpanjangan itu 25 persen kali dari nilai jual obyek pajak (NJOP), harusnya NJOP 2010 total bangunan Rp 6 triliun itu sekitar Rp 1,5 triliun dengan asumsi 2014. Tapi NJOP-kan naik terus, jadi ini akan lebih rugi lagi," ungkapnya.
Merujuk pada fakta-fakta, tindakan-tindakan yang dilakukan PT Z telah memberi dampak kerugian yang besar bagi PT Y selaku korporasi. "Sebagai komisaris yang baru ditugaskan di PT Y (November 2010) kami menilai harus ada langkah-langkah penyelamatan aset negara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kami, direksi dan komisaris baru masih mempelajari dokumen tersebut. Kenapa selama ini tidak ada yang pertanyaan? Kalau didiamkan, nanti saya sebagai komisaris bisa masuk pasal pembiaran. Itu tidak boleh terjadi," tegasnya. Michael juga mengaku telah melaporkan masalah ini ke Menteri BUMN Rini Soemarno. Menurutnya, perseroan tengah menyiapkan langkah hukum untuk menuntut hak-hak tersebut.
"Masalah ini sudah dilaporkan ke Bu Menteri. Ibu Menteri sangat mendukung karena sesuai ketentuan kita harus menuntut hak itu," jelas Michael. Sementara itu, saat dikonfirmasi Anggota VII BPK, Achsanul Qosasi membenarkan adanya temuan potensi kerugian tersebut. Namun dia enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Referensi:
https://www.liputan6.com
Komentar
Posting Komentar